fbpx

Natra dan Lovi, Kisah Cinta dalam Keterbatasan

Seri : 1

Hidup di pesantren pegunungan yang sejuk, Natra dan Lovi adalah dua santri tunanetra yang memiliki cinta yang tumbuh di hati mereka. Meskipun hidup dalam keterbatasan penglihatan, mereka saling mendukung dan menjaga kehormatan satu sama lain dengan penuh kesetiaan. Mereka berdua menjalani kesehariannya dengan tekun, Natra menghafal Al-Quran di masjid, sedangkan Lovi di perpustakaan bersama santri akhwat yang lain, yang juga tidak bisa melihat.
Suatu sore di perpustakaan, Lovi duduk bersama teman-teman santri lainnya, sedang asyik mendengarkan cerita dari temansekamarnya, Aisha yang masih mempunyai sedikit sisa penglihatan. “Kemarin malam, ketika aku menghafal surat Al-Kahf, tiba-tiba listrik padam, dan aku merasa takut sendirian di ruangan gelap.”
Teman-teman yang lain tertawa mendengar cerita Aisha, tetapi Lovi dengan lembut menyentuh tangan Aisha dan berkata, “Aisha, aku paham perasaanmu. Meskipun kita tidak bisa melihat, kita juga merasa takut dalam gelap. Tapi jangan khawatir, kita selalu bisa belajar bersama di sini,walaupun dalamketerbatasan, iya kan?”
Aisha tersenyum hangat, “Ya, Lovi, tentu saja. Kita selalu bisa saling mendukung dan belajar bersama dipesantren ini. Kita mungkin tidak bisa melihat dengan mata, tetapi hati kita bisa merasakan kekuatan dan cahaya dari Al-Quran. Kehadiranmu di sini juga memberi semangat kepada kami semua.”
Teman-teman yang lain mengangguk setuju, mengungkapkan rasa kagum mereka pada Lovi dan Aisha. Mereka tahu bahwa meskipun memiliki keterbatasan penglihatan, semangat dan kecerdasan mereka menginspirasi mereka semua.
Tak jauh dari sana, Natra sedang berada di masjid, dikelilingi oleh teman-teman santri ikhwan. Mereka berdiskusi tentang makna dari ayat-ayat yang sedang mereka hafal. Natra dengan penuh semangat berbicara, “Ketika aku mendengarkan suara ayat suci Al-Quran, rasanya seperti ada sinar cahaya yang menyinari hatiku. Meskipun tak bisa melihat, aku merasa dekat dengan Allah melalui setiap ayat yang ku hafal.”
Salah satu teman Natra, Malik, bertanya, “Bagaimana kamu bisa mengingat begitu banyak ayat, Natra?”
Natra menjawab, “Aku menggunakan teknik menghafal yang melibatkan pendengaran dan penciptaan gambaran dalam pikiranku. Meski butuh usaha lebih, tapi hasilnya luar biasa. Kalian juga bisa mencobanya.”
Teman-teman Natra mengangguk dan berterima kasih atas masukan yang berharga. Mereka saling memberikan semangat dalam menghafal Al-Quran dan saling mendukung satu sama lain, termasuk teman-teman santri akhwat yang tak bisa melihat.
Ketika malam tiba, dari masjid, para santri berjalan bersama-sama di pesantren, sambil membawa tongkat masing-masing, menuju ke kamar asrama. Di sepanjangjalan menuju asrama, mereka saling berbagi pengalaman hari ini dan berbicara tentang tantangan yang mereka hadapi dalam menghafal Al-Quran.
Di sela perjalanan, dalam barisan para santri, Lovi memanggil Natra. “Natra, hari ini di perpustakaan, aku merasa seperti ada sinar cahaya dalam hatiku. Meskipun kita tak bisa melihat, kita bisa merasakan kehadiran Allah melalui Al-Quran yang kita hafal,” kata Lovi dengan penuh semangat.
Natra tersenyum, “Benar sekali, Lovi. Keterbatasan kita tidak menghalangi kita untuk mencapai kemuliaan dalam agama kita. Kita adalah bukti hidup bahwa cinta dan keyakinan kita bisa melampaui segala keterbatasan.”
Dalam hal ini, mereka pun mempunyai pemahaman yang sama, dengan hati penuh kebahagiaan dan keyakinan. Meskipun dalam keterbatasan, Natra dan Lovi terus melangkah maju dalam perjalanan keagamaan mereka, menjadi sumber inspirasi dan semangat bagi santri lain di pesantren.

Bersambung…

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *